Siapa sangka? Saya bisa berkenalan dengan Diah Mumpuni Afrianti, seorang perempuan yang sedang menjalin mimpinya kembali. Hal sederhana yang sering terabaikan setelah manusia mengenal kata realistis. Siapa juga yang akan mengira jika kami memiliki kesamaan? Hal ini bahkan baru saya ketahui saat berkunjung ke blog beliau. Saya dan Mbak Diah, begitu saya memanggilnya, sama-sama mengenakan niqab. MasyaAllah Alhamdulillah.
Kesamaan yang ada nyatanya tidak hanya berhenti di situ. Masih banyak hal lain yang berhasil mengejutkan diri ini. Pertama, kami lahir dan tumbuh di Kabupaten Jember. Kedua, senang mencoret-coret kertas origami hehe. Ketiga, pernah melupakan kegemaran menulis saat bekerja.
Bagi mereka yang bersungguh-sungguh, dunia kerja akan dipenuhi rasa tanggung jawab yang bahkan terkadang membuat sebagian waktu atau seluruh waktu kita hanya mampu terfokus untuk pekerjaan. Pun begitu dengan Mbak Diah. Itulah mengapa saat bekerja, beliau memilih untuk menidurkan sesaat dunia yang dicintainya.
Namun takdir Allah berkehendak lain. Ibu dua anak yang sudah menyukai dunia menulis sejak kecil ini memilih resign dan kembali menekuni dunia menulis. Bahkan saat ini beliau sudah menerbitkan empat karya antologi :
- Masa Lalu Terima Kasih Atas Semuanya (2019)
- Memoar dan Memar (2020)
- Lika-liku Profesi (2020)
- Tumbuh Setelah Patah (2021)
MasyaAllah. Perjalanan Mbak Diah dalam mencapai mimpinya memang butuh proses yang tidak mulus. Bahkan mimpi beliau sudah mengendap sangat lama. Tapi tidak pernah sekalipun dibiarkan menjadi ampas.
Titik balik perjalanan Mbak Diah memulai lembaran baru dimulai saat beliau resign untuk membangun mimpi kembali : menjadi penulis. Sama sekali tidak ada yang perlu disesali dari waktu yang telah berlalu. Pun tidak ada kata terlambat dalam memulai.
Memang ya, jika tekad yang dimiliki menancap kuat, tidak akan ada seorang pun yang dapat mencabutnya. Kuncinya haruslah fokus. Dan tentu perjalanan Mbak Diah masih baru dimulai. Saya jadi tidak sabar menantikan karya beliau selanjutnya.
Dreams, Never Too Late to Focus
14 Comments
MasyaAllah... Makasih atas tulisan Indahnya, mba ines. ❤️ Semoga Kita bisa terus fokus menulis untuk kebaikan. Jazakillah khair
ReplyDeleteInsyaAllah mbak. Wa jazakillah khairan :)
DeletePasti sangat senang saat bertemu dengan ornag yang memiliki kesamaan, apalagi bisa berteman dengan ornag yang bisa menghasilkan karya, produktiv pastinya
ReplyDeleteHehe iya betul pak. Terima kasih sudah mampir.
Deleteapalagi kalo ketemu di dunia nyata nih, Nes, pasti rame, hehe. Ternyata kesamaannya banyak yaa
ReplyDeleteSemoga setelah pandemi berakhir bisa kopdar semuanya ya mbak.
DeleteDreams, never too late to focus. Seneng banget nih bisa dapet insight positif dari tulisan mbak ines. Semakin bertambah umur, kesukaan kita makin sedikit dan makin fokus juga dalam menjalaninya.
ReplyDeleteBetul. Tinggal komitmen untuk tidak mudah menyerah selamanya.
DeleteGhiroh utk menulis selalu membayangi segala profesi ya mbak, sosok inspiratif
ReplyDeleteBetul. MasyaAllah mah Mbak Diah.
DeleteSaya sendiri sudah mengakui bahwa menjadi seorang ibu yang mempunyai anak, apalagi anak-anak, tidak mudah.
ReplyDeletebahkan seorang laki-laki terkuat pun kalau mengurus dan betah di rumah, maka tak akan mampu.
bagaimana pun kisah bu Diyah itu sangat menggetarkan jiwa.
Semoga istiqomah untuk beliau.
Aamiin.
DeleteBener bgt, idealisme dan impian kadang terbentur sm realita
ReplyDeleteMaka benar ya, bisa menulis sejatint bener2 sbuah privilige karena ga smua org bisa mlakuknny (trbentur kerjaan yg padat atw alasan serupa)
Btw kalian brdua sm2 pakai niqab ya
MasyaaAllah 😘
Hidup konsisten dalam menulis. Hidup! Hehe.
DeleteIya mbak Alhamdulillah.